#JustAStory #2 - The Untold Letter

Coba dibaca sambil mendengarkan lagu ini, semoga bisa terbayang suasananya
(Dygta - Kesepian)


Dear Dewa,

Hai.
Saya tidak tahu bagaimana cara mengucapkan ini secara langsung kepadamu, hati saya bilang tidak dan saya merasa memang tidak seharusnya mengatakan hal ini langsung.... mengingat bahwa kita bukan siapa-siapa, ya kan? Saya tahu, pun saya sebenarnya tidak pantas untuk menuliskan hal ini juga, tapi saya tidak bisa menahan sesuatu sebesar ini. Sesuatu yang berhasil membuat saya merasa bersalah dan kembali menitikkan air mata.

Saya ingin berterimakasih, sungguh. Terimakasih karena pernah mau untuk hadir di saat saya butuh seorang teman. Saya ingat saat itu, entah mungkin memang alam semesta melakukan kerjanya dengan baik, kamu datang di saat saya berada dalam keadaan terpuruk. Itu kali pertama saya merasakan sakit yang begitu dalam, pertama kalinya saya bisa menangis dalam waktu lama seperti anak kecil, dan pertama kalinya saya bisa terus menangis kapan pun di mana pun ketika teringat akan sakit yang saya rasakan dengan frekuensi menangis yang dapat terus terulang selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Kamu datang pada awalnya hanya menyapa dan bertanya apa yang terjadi pada saya, dengan cukup ketus saya menjawab pertanyaanmu kala itu. Sungguh bodoh saya. Kemudian saya melihat bahwa kamu berusaha menghibur dan membuat saya tertawa, itu berhasil. Terima kasih.

Saya ingat kala keduanya. Kamu menuruti keinginan saya, meskipun sepertinya ada sedikit miskomunikasi, namun kamu tetap berusaha memenuhi apa yang saya harapkan. Terima kasih. Saat itu salah satu teman saya berkata, “Yah pantas saja dia memberikanmu ini, toh memang kamu yang meminta. Semoga lain kali memang ada inisiatif darinya”. Di situ saya sadar, mungkin rasa sakit saya telah menutupi semuanya dan membuat harapan baru bahwa masih ada seseorang yang peduli pada saya, yaitu kamu. Apa pun itu, saya tetap berterima kasih karena kamu rela untuk mengeluarkan uang demi memenuhi keinginan saya.... yang bukan siapa-siapa, yang bahkan dianggap temanmu pun sepertinya saya rasa bukan.

Sejak kalimat itu terlontar dari teman saya, saya sedikit banyak berfikir..... tentang kamu. Di hari penting saya saat itu, saya berharap kamu datang, meskipun harapan itu sama besarnya dengan harapan saya yang ingin teman-teman terdekat saya datang dan turut berbahagia di hari penting itu, tidak lebih. Namun, kalimat itu terus mengganggu saya dan saya putuskan untuk tidak memintamu datang hari itu. Saya tidak tahu apakah kamu menangkap dengan benar kalimat yang saya ucapkan atau menganggap itu sebuah tanda dari saya untuk sebenarnya memintamu datang pada hari itu. Saya tidak ingin mengganggu kegiatanmu, saya sudah bilang untuk tidak datang pada hari itu, tapi.... kamu datang. Terima kasih untuk usahamu. Saya ingat bahwa hari itu saya merasakan percikan rasa senang itu lagi ketika melihat pesan darimu yang mengatakan bahwa kamu akan datang, meski awalnya saya menepis itu semua dengan pemikiran bahwa kamu datang bukan hanya untuk saya tetapi untuk banyak orang yang kamu kenal yang juga menjadikan hari itu menjadi hari penting dalam hidup mereka. Setidaknya saya akhirnya dapat kembali merasakan percikan kebahagiaan itu setelah berbulan-bulan, terima kasih.

Saya juga masih ingat kala itu kamu datang membawakan saya hadiah yang tidak pernah saya bayangkan. Saya bertanya kepadamu tentang alasan pemilihan hadiah itu dan kamu menjawab bahwa kamu pernah mendengar jikalau saya menyukai hal itu. Kamu hampir membuat jantung saya berhenti berdetak. Terima kasih, untuk masih mengingat apa yang kamu dengar dan juga untuk degupan jantung saya yang hampir berhenti seketika. Saya tahu seharusnya saya tidak berpikiran berlebihan, tapi pemikiran itu datang begitu saja. Saya harap kamu dapat mengerti.

Dari semua itu, saya merasa sangat berterima kasih untuk kesediaanmu menemani saya sekedar berbincang dan bertukar pendapat tentang banyak hal. Saya ingat saat itu saya benar-benar sedang membutuhkan seorang teman untuk diajak berbicara, saya menghubungimu, dan kamu bersedia menemani berbincang cukup lama. Terima kasih juga telah bersedia mengutarakan pendapatmu terhadap banyak hal, terima kasih karena telah mau menyediakan waktu berdiskusi dengan saya membahas topik dan isu yang sedang hangat. Saya sangat menghargai semua usaha dan kesediaanmu memberikan waktumu untuk saya. Terima kasih.

Saya tidak tahu apakah kamu menganggap saya temanmu, tapi saya pernah menganggap kamu lebih dari itu. Saya tahu ini tidak pantas untuk diucapkan, saya juga paham bahwa saya tidak boleh memiliki harapan lebih, dan saya juga mengerti jika memang semua ini hanya kesalahpahaman saya memandang semua kejadian yang terjadi di sekitar saya. Namun, jika memang semua benar adanya seperti apa yang saya bayangkan akhir-akhir ini, saya benar-benar berterima kasih kepadamu sedalamnya....... terima kasih untuk hadir kembali dalam kehidupan saya ketika saya sedang jatuh dan terima kasih untuk kesediaanmu menjadi teman saya di saat saya membutuhkannya. Maafkan saya jika saya tidak bisa memberikan apa yang kamu harapkan dari saya. Maafkan saya jika ternyata kenyataan yang terjadi dalam pandanganmu tidak seperti yang saya lihat dari pandangan saya.

Saya sungguh ingin mengatakan ini secara langsung, tapi sepertinya itu bukan hal yang benar dan pantas untuk dilakukan. Saya harap semoga saja kamu bisa membaca surat ini meski entah bagaimana cara alam semesta untuk mengabulkannya. Semoga kamu selalu sehat ya, Dewa.

Salam hangat,
Anita

****************

Dewa sedikit berlari ke arah restauran tempat dia membuat janji. Jam di tangannya menunjukkan pukul 02.30, terlambat 30 menit dari waktu yang disepakati kemarin. Atasan Dewa meminta tolong kepadanya untuk mengirimkan berkas fisik secara langsung ke kantor klien mereka yang arahnya berlawanan dengan lokasi restauran yang dituju oleh Dewa. Dewa memperlambat langkahnya dan berhenti beberapa langkah sebelum mendekati restauran. Dewa merapikan rambut dan kemejanya, berlari membuatnya terlihat cukup kacau.

Restauran itu bergaya klasik, terlihat sangat mewah dengan berbagai ornamen berwarna emas yang menghiasi seisi ruangan. Tirai berwarna kuning emas yang dipasang pada setiap jendela besar pada restauran itu terlihat sangat cocok dengan karpet merah yang melapisi lantai seisi ruangan. Lampu gantung raksasa di tengah ruangan menambah kesan glamor pada restauran tersebut. Dewa memasuki restauran dan langsung diantarkan oleh seorang pelayan menuju meja yang dia tuju.

"Assalamu'alaikum, tante," ucap Dewa sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Wa'alaikumsalam, Dewa. Silahkan duduk," jawab wanita itu.

"Tante, Dewa benar-benar minta maaf atas keterlambatan ini."

"Tidak apa-apa, saya paham. Saya yang berterima kasih sama kamu karena mau meluangkan waktu di tengah pekerjaanmu untuk datang menemui saya."

"Tidak apa-apa, tante. Sebenarnya ada apa, tante?"

Wanita itu mengeluarkan sebuah amplop putih dengan tulisan "Untuk Dewa" di bagian atasnya, "Ini untuk kamu, Dewa."

"Ini.....?"

"Ya. Ini surat terakhir yang ditulis oleh Anita. Ternyata di saat terakhirnya, dia menuliskan beberapa surat dan salah satunya ditujukan untuk kamu. Saya menemukan surat ini dan beberapa surat lain di dalam sebuah kotak ketika saya merapikan kamarnya minggu lalu. Saya pikir Anita mungkin ingin menyampaikan beberapa hal kepada orang-orang tersebut, namun belum sempat ia lakukan, sehingga saya berinisiatif untuk memberikannya langsung kepada masing-masing orang yang namanya tertulis di masing-masing amplop tersebut."

Dewa hanya bisa diam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Sesungguhnya dia pun masih belum bisa menerima kenyataan atas apa yang terjadi pada Anita. Dewa menatap amplop itu, entah apa dia mau untuk membacanya atau tidak.

"Saya tidak tahu ada apa diantara kalian berdua, tapi dari yang saya lihat ketika kamu hampir setiap hari datang ke rumah sakit, sepertinya kamu menganggap Anita cukup memiliki arti dalam hidupmu. Saya sebagai ibunya merasa sangat berterima kasih  untuk itu. Saya paham kalau kamu masih belum bisa menerima kenyataan ini sama seperti saya, tapi kita harus tetap ingat, Dewa, bahwa tidak ada yang bisa kita lakukan jika Tuhan sudah bertindak," ujar ibunya Anita. Wanita itu seperti dapat memahami apa yang ada di dalam benak Dewa.

"Sa.... Saya......," Dewa tidak tahu harus berkata apa.

"Dewa, saya mohon ambil amplop ini. Tolong dibaca. Demi Anita."

****************




Comments

Popular posts from this blog

Working Mom VS Stay at Home Mom #4 - The Versus

#JustAStory #3 - Rinduku Egois, Ya?

Working Mom VS Stay at Home Mom #5 - Why I Choose It