#JustAStroy #1 - Aku Sudah Berjuang
Edited - Photo Source |
Aku duduk di bangku taman dekat dengan kolam ikan. Gemericik air jelas terdengar dari pancuran di tengah kolam. Semilir angin sore menemaniku dalam kesendirian. Aku mematung memandangi kolam di depanku. Kulihat beberapa ikan masih asik berenang. Sesekali menyembulkan kepalanya ke permukaan.
Sore itu terasa begitu dingin bagiku, meskipun saat ini masih terhitung musim kemarau. Pikiranku melayang jauh. Kupikirkan lagi kenangan perjalananku beberapa minggu ke belakang. Aku teringat pada awalnya aku hanya ingin mencoba. Namun, semuanya berakhir dengan keinginanku yang mendadak menjadi besar untuk memperjuangkannya.
Aku masih duduk diam terpaku ketika sebuah tangan menyentuh pundakku. Itu Hana. Dia duduk di sampingku tanpa mengucapkan apa pun. Hanya matanya yang beradu pandang denganku. Kupikir dia bermaksud untuk menyemangati.
Cukup lama kami duduk berdiam diri. Memandangi riak air di dalam kolam. Memperhatikan ikan-ikan yang tak bosannya berenang jauh lalu kembali lagi.
"Ran, sampai kapan kamu mau diem aja kayak gini? Kamu masih sedih?" Hana tiba-tiba angkat bicara. Dia menyentuh pundakku lagi dan mengarahkan wajahnya menatap aku.
Aku hanya diam memandangnya. Mencoba mencari kata, namun tak jua berhasil kutemukan. Kata-kata itu tak mau keluar. Aku berakhir dengan menggelengkan kepala.
"Oh, ayolah. Rani, aku sudah hampir 3 tahun mengenalmu. Aku tahu kamu pasti berbohong. Jujur saja, kamu masih sedih kan tentang pengumuman itu?" Hana menggeser sedikit posisi duduknya. Tatapannya memancarkan kesedihan yang tulus. Ah, aku memang tak bisa berbohong pada sahabatku ini.
"Ya, baiklah. Iya, jujur aja, aku memang masih sedih sampai detik ini. Entah sejak kapan aku begitu menginginkan posisi itu, Han. Entah sejak kapan aku jadi selalu mendambanya. Kau tahu? Aku hampir terobsesi karenanya." Pandanganku kembali tertuju pada kolam ikan di taman itu. Suasananya sedikit berubah kala senja mulai datang.
"Ran, aku mengerti. Aku paham kalau kamu sedih. Aku tahu kamu sudah berjuang begitu keras, setiap hari hanya belajar dan belajar untuk persiapan. Hampir setiap malam pula kamu menekuni buku catatanmu sampai-sampai aku heran bagaimana buku itu bisa tetap utuh, tapi bukan berarti kamu bisa kayak gini terus, Ran. Aku paham kesedihanmu, tapi nggak baik kalau kamu terus memikirkan olimpiade itu seperti ini. Ikhlaskan saja, Ran. Mungkin Tuhan punya rencana yang lebih baik dan lebih besar untuk kamu dibandingkan hanya sekadar menjadi kontingen olimpiade itu."
Aku masih terdiam. Pikiranku masih melayang jauh. Butuh waktu sedikit lebih lama untukku memahami apa yang Hana katakan. Hana masih terdiam memberiku waktu.
"Iya, Han. Aku paham maksud kamu. Aku diam bukan karena sedih, ya memang aku masih sedih, tapi ada hal lain yang sedang aku pikirkan."
Hana masih menatapku. Tatapannya sudah tidak sekhawatir sebelumnya. Tak lama kemudian, ia merubah posisi duduknya, mencoba untuk lebih rileks. Badannya ditegakkan, namun kepalanya menunduk. Kakinya memainkan kerikil di dekat sepatunya. Sepertinya ia sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya.
"Kalau aku boleh tau, apa itu, Ran?", kata Hana pada akhirnya.
"Kamu ingat tentang sebuah quote, Han? Quote yang isinya tentang sebagaimana pun orang lain berusaha menggalkan kita, jika Tuhan menggariskan posisi itu untuk kita, maka kita akan mendapatkannya apa pun yang terjadi. Ingat?", kataku sambil menoleh padanya. Hana menoleh kepadaku. Terdiam sebentar, kemudian mengangguk.
"Aku tadi sedang memikirkan perjalananku selama ini, Han. Usahaku untuk meraih posisi itu. Kemudian aku teringat akan kalimat tadi. Lalu, aku sadar. Dulu aku masih setengah percaya dengan isi kalimat itu. Kini aku percaya sepenuhnya, Han. Seberapa pun kerasnya aku berjuang, seberapa pun besarnya pengorbanan yang aku lakukan, jika Tuhan tidak menggariskannya untukku, maka itu tak akan pernah aku dapatkan."
Hana hanya terdiam dan menatapku. Aku tak bisa membaca raut mukanya. Mungkin dia pun bingung harus bagaimana. Tiba-tiba secercah senyum mengembang di wajahnya. Hana memelukku dan menepuk punggungku.
"Syukurlah, Ran. Aku sempat khawatir tadi. Aku takut sekali kalau kamu sampai depresi hanya karena pengumuman olimpiade itu. Syukurlah."
Comments
Post a Comment