#JustAStory #3 - Rinduku Egois, Ya?

Edited - Photo Source


Sore itu angin berhembus dengan lembut, mengibaskan rok panjang Gina yang sedang duduk di bangku taman itu. Taman favorit Gina sejak beberapa bulan terakhir. Pertemuannya kembali dengan Randi di taman ini membuatnya terus kembali ke taman ini hampir setiap hari, sedikit banyak  ia berharap bahwa semesta akan membentuk skenario untuk mempertemukan mereka kembali di taman itu tanpa sengaja. Sore itu tidak begitu banyak orang yang beraktifitas, sepertinya orang-orang di kota ini sedang pergi ke luar kota untuk libur panjang. Gina lebih menyukai momen seperti ini, lebih khidmat untuknya menikmati momen bersama dengan buku yang sedang dibacanya.

Hari itu Gina mengenakan baju kesayangannya, hadiah pertama dari Randi untuk ulang tahunnya tahun lalu, dipadukan dengan rok berwarna biru dongker dan sepatu bot berwarna coklat. Gina duduk di bangku yang berada tepat di bawah pohon di pinggir danau, ini juga tempat favorit Gina sekarang karena ini tempat pertemuannya dengan Randi terakhir kali. Sejak saat itu, Gina selalu kembali setiap sore entah untuk hanya memandang danau dalam diam, membawa alat gambarnya untuk melukis pemandangan, atau membaca buku seperti sore ini. Kali ini Gina membawa buku dengan genre kesukaan Randi, sejarah dunia.

**********
Coba dibaca sambil mendengarkan lagu ini, semoga bisa terbayang suasananya
(Fiersa Besari feat. Tantri - Waktu yang Salah)

**********

Matahari sudah kembali menuju peraduannya. Kali ini pun semesta belum mempertemukan Gina dengan Randi kembali. Gina pulang dengan perasaan kecewa, sekali lagi. Ia mengemudikan mobilnya menuju kafe favoritnya, Gina hampir lupa memiliki janji untuk bertemu dengan Vanny di sana. Sepertinya Vanny sudah berada di sana sejak tadi karena telepon genggam Gina tidak berhenti berdering dari tadi, telepon masuk dari Vanny.

Beberapa menit kemudian Gina sampai, untung saja jalanan hari itu lancar tanpa macet tidak seperti biasanya. Gina bergegas masuk membawa tas dan buku sejarahnya. Vanny bilang bahwa dia ada di lantai dua kafe, di pojok favorit mereka. Vanny dan Gina memang sudah bersahabat sejak mereka pertama kali bertemu saat mendaftar ulang di kampus empat tahun lalu. Dua tahun lalu mereka menemukan kafe itu baru buka dan sejak itu menetapkan kafe itu sebagai tempat favorit mereka,  bahkan menentukan spot terbaik menurut mereka. Spot itu berada di pojok kafe lantai dua, dua kursi dengan sebuah meja bundar di dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan. Di sekitar jendela itu ada kayu tempat meletakkan beberapa pot kecil bunga warna warni. Lantainya kafe itu terbuat dari kayu dan dindinginya dari batu bata yang diekspos tapi dicat dengan warna putih seluruhnya. Di salah satu sisinya tepat berdekatan dengan dinding. Tak jauh dari tempat duduk itu ada rak buku yang isinya selalu update setiap tiga bulan sekali. Vanny sama seperti dengan Gina, sama-sama suka membaca, sehingga spot itu otomatis menjadi tempat favorit mereka bersama.

"Vannyyyyy, maafkan aku! Aku benar-benar lupa waktu tadi," ucap Gina ketika sampai di pojok favorit mereka, wajah Vanny sudah mulai terlihat bete.

"Parah banget kamu, Gin, aku udah hampir menunggu kamu setengah jam di sini tau," ujar Vannysambil melotot. Namun, dia urung melanjutkan marahnya ketika melihat buku yang dibawa oleh Gina. "Taman itu lagi?"

Gina hanya mengangguk sambil mengambil posisi untuk duduk di kursi seberang Vanny. Ia memberikan tanda kepada pelayan bahwa ia siap untuk memesan. Seorang pelayan perempuan datang menghampiri mereka untuk mencatat kembali pesanan di meja mereka. Gina memesan ice cappucino dan fettuccine carbonara with crispy chicken katsu and mushroom, pesanan favoritnya di kafe itu.

"Kenapa sih kamu, Gin?" tanya Vanny ketika pelayan itu sudah pergi.

"Kenapa apanya, Van?" Gina tidak mengerti maksud pertanyaan sahabatnya itu.

"Kamu belum pernah cerita lagi ke aku, Gin. Ngapain sih kamu masih terus ke taman itu? Nungguin Randi?"

"Aku...... Iya, Van, aku menunggu Randi di sana... hampir setiap hari, aku selalu di sana, di bangku yang sama tempat terakhir kali Randi ketemu sama aku," jawab Gina sambil menunduk, memandang buku sejarah yang ia letakkan di meja dan mengelus cover buku itu.

"Ngapain sih, Gin? Emang kamu lupa kalau dulu Randi juga pernah ninggalin kamu gitu aja kayak sekarang? Hanya karena dia kembali sekali waktu kemarin, lantas sekarang kamu berpikir bahwa dia akan kembali untuk kedua kalinya?"

"Iya, Van, aku... aku masih berharap dia mau kembali lagi seperti waktu itu. Aku..... kangen sama Randi."

"Kamu udah membuka hati kamu untuk Randi seperti dulu, Gin? Kamu berhasil move on dari Reno?"

Gina terdiam, dia sepertinya baru menyadari sesuatu. Mencoba merasakan apa yang dia rasa dalam hatinya. Bertepatan dengan itu, pelayan kafe datang membawakan pesanannya. Gina hanya memandang makanannya dan mengaduk cappucino dalam gelasnya, entah apa yang dia aduk sebenarnya. Sampai akhirnya dia tersadar dari lamunannya setelah mendengar Vanny memanggilnya beberapa kali.

"Aku..... Aku....," Gina masih mempertimbangkan apa yang dia rasakan. Vanny sepertinya mengerti apa yang dirasakan oleh sahabatnya, dia memberikan waktu pada Gina untuk bercerita ketika hatinya telah siap.

Tanpa berhasil menemukan jawaban untuk pertanyaan Vanny tadi di hatinya, semua kenangan bersama Randi tiba-tiba berputar kembali dalam ingatannya. Mengingat hal itu pun tetap tidak bisa membuatnya merasa bisa menjawab pertanyaan Vanny.

"Aku.... Entah lah, Van. Aku rasa sebenarnya pun sampai sekarang aku belum bisa merasakan getaran yang dulu aku rasakan ke Randi. Aku masih ingat rasa kecewaku saat dulu tiba-tiba dia menghilang begitu saja. Lalu, Reno datang mengisi hariku tanpa Randi. Ketika pada akhirnya Reno pun ikut pergi meninggalkanku, aku pikir dunia dan harapanku hancur saat itu. Entah seakan Randi tahu bahwa aku sedang tidak baik, dia kembali membawakan perhatian lagi untukku. Dia orang pertama yang menghiburku dan berhasil membuatku tertawa di hari yang sama ketika Reno merenggut tawa itu dariku, Van. Sejak saat itu, aku mengharapkan Randi memberiku lebih dan lebih lagi untuk kesembuhanku. Aku berharap dia bisa membantuku melupakan Reno, aku tahu saat dia kembali saat itu rasaku pada Reno masih begitu besar, jadi aku semakin berharap pada Randi. Aku berharap Randi merasakan rasa yang dulu aku rasakan untuknya, aku berharap Randi mau membantuku untuk kembali merasakan rasa itu lagi seperti dulu dan benar-benar menghilangkan perasaan yang masih aku simpan untuk Reno. Aku juga berusaha setiap hari untuk menumbuhkan rasa itu kembali untuk Randi, aku berusaha juga untuk melupakan Reno, Van. Tapi, aku merasa berjuang sendirian. Randi memang terkadang terlihat perhatian padaku, tapi tidak jarang juga dia menunjukkan rasa tak acuhnya padaku. Aku bingung juga dengan apa yang dia rasakan padaku, tapi aku merasa butuh Randi. Aku butuh dia untuk membantuku melupakan Reno. Sejujurnya, sampai sekarang pun aku masih bisa menangis untuk Reno."

Gina kembali menunduk, kali ini fettuccine di piringnya yang diaduk olehnya tanpa maksud apa pun. Belum ada sedikit pun Gina menyentuh makanan atau pun minumannya. Pertanyaan Vanny membuatnya cukup berpikir, hampir tak pernah ia memikirkan bagaimana keinginan hatinya itu, yang dia tahu selama ini adalah bahwa dia merindukan sosok Randi yang perhatian padanya. Vanny pun sepertinya masih mencoba untuk mencerna situasi yang sedang dialami oleh sahabatnya itu. Masih begitu kental dalam ingatan Vanny bagaimana terlukanya Gina ketika kala itu Reno mengatakan padanya bahwa Reno ingin menghapuskan segala apa pun yang telah terjadi di antara mereka. Vanny menjadi salah satu saksi hidup betapa hancurnya Gina kala itu, seorang perempuan riang yang penuh mimpi tiba-tiba seakan jatuh tersungkur, bahkan Gina sempat tidak masuk kuliah selama lebih dari seminggu karena patah hatinya membuat dia jatuh sakit.

"Hmm... apa mungkin.... sebenarnya kamu hanya merasa kesepian, Gin? Maksudku, bukan sosok Randi yang kamu rindukan, mungkin kamu hanya merindukan bentuk perhatian yang Randi berikan? Kebetulan aja yang ngasih perhatian itu Randi, makanya kamu merasa merindukannya," ucap Vanny berhati-hati.

"Eh... tapi....," Gina tidak tahu harus merespon apa, sebenarnya ucapan Vanny mungkin memang ada benarnya. Mungkin dia memang hanya merindukan perhatian yang diberikan oleh Randi, mungkin bukan sosok Randi yang dia rindukan sebenarnya. Gina kembali mencoba untuk menadalami perasaan apa yang sebenarnya sedang dia rasakan.

"Maaf, Gin, aku tidak bermaksud membuatmu terlihat jahat. Hanya saja.... ya sebenarnya pun aku tidak benar-benar paham apa yang terjadi dan bagaimana perasaanmu apalagi perasaan Randi, aku hanya mencoba untuk memberikan perspektif lain," kata Vanny sambil menyentuh tangan Gina, mencoba untuk menenangkan sahabatnya yang mulai terlihat semakin sedih.

"Nggak apa-apa, Van, aku tahu kok kamu nggak bermaksud jahat. Aku malah berterima kasih karena kamu membuatku tersadar," ujar Gina sambil menepuk kembali uluran tangan sahabatnya itu, "mungkin kamu benar, mungkin aku yang terlalu egois mengharapkan banyak dari Randi selama ini, padahal mungkin memang dia kembali hanya untuk mengulurkan tangannya sebagai seorang teman. Aku terlalu kalut ketika Reno pergi, sampai aku tanpa sadar malah melampiaskan rasa sakit itu kepada orang lain. Jikalau memang perasaan yang dia rasakan untukku sama seperti yang aku rasakan dulu terhadapnya, berarti aku udah jahat banget ya, Van, sama dia? Aku ternyata masih begitu egois."

Gina mulai menitikkan airmata. Ia merasa bersalah pada Randi, di sisi lain ia juga mulai menyadari bahwa apa yang dia rasakan memang benar sebuah rasa yang disebut rindu. Kenangannya bersama Randi kembali lagi, perlahan terasa hangat ketika dia mengingat perhatian yang Randi berikan, perlahan ia merasa begitu tersentuh ketika mengingat perjuangan yang Randi lakukan untuknya, perlahan ia menyadari. Mungkin memang benar bahwa rasanya terhadap Reno masih begitu besar, laki-laki yang telah memberinya banyak mimpi dan di saat yang sama menjatuhkannya kembali. Mungkin memang benar juga bahwa Gina begitu egois menginginkan perhatian Randi sebagai salah satu cara untuknya berpaling dari Reno. Mungkin juga benar bahwa degupan itu memang belum bisa kembali Gina rasakan untuk Randi kala mereka bertemu seperti saat dulu kala sebelum Gina mengenal Reno. Namun, sekarang Gina mulai yakin, bukan perhatian Randi yang dia rindukan.

"Van.....," ujarnya lirih. Air mata masih belum mau berhenti mengalir dari kedua matanya. Gina tidak berani berbicara lebih keras, ia terlalu malu untuk terlihat sesenggukkan di tempat umum.

"Kelarin dulu aja, Gin, kamu puasin dulu aja nangisnya ya. Setelah lega, baru kita bahas lagi," ujar Vanny.

**********

Gina kembali ke taman itu hari ini. Setelah perbincangan dengan Vanny malam itu, Gina mulai lebih bisa menyadari bagaimana perasaannya terhadap Randi. Perlahan tapi pasti, seminggu setelah perbincangan itu, Gina mulai semakin yakin dan menyadari. Sudah sebulan lebih sejak pertemuannya yang terakhir dengan Randi di taman itu. Sejak saat itu pun Gina tak pernah bisa menghubungi Randi. Kini kedatangannya ke taman itu mulai terasa seperti rutinitas biasa, setiap hari pukul empat sore. Kali ini bukan buku sejarah dunia yang menemaninya, bukan pula peralatan menggambar kesayangannya, tetapi hanya sebuah buku catatan dan alat tulis.

**********

Dear Randi,

Hai, apa kabar kamu yang di sana? Pekerjaan kamu lancar? Masih banyak meeting ya? Jangan sampai telat makan ya. :)
Kamu masih berolahraga nggak? Masih suka jogging pagi di hari Minggu? Jangan lupa jaga kesehatan ya! Kapan-kapan aku mau kok lari pagi nemenin kamu, biar sama-sama sehat kan seperti yang kamu bilang waktu itu. :)

Randi, kamu lagi sibuk apa sekarang? Pekerjaan di kantor begitu banyak ya? Kamu pasti lelah sekali. Ya aku nggak berharap kamu mengabariku juga sih, hanya ingin tahu apakah kamu dalam keadaan baik. Semoga segala kesibukanmu membawa kamu untuk terus menjadi lebih baik ya, Ran.

Ah iya, waktu itu kamu pernah nanya kan ke aku tentang rencanaku di masa depan. Boleh nggak, Ran, kalau aku masukkin kamu ke dalam rencana-rencanaku itu? Hehe. Aku pikir sepertinya melakukan banyak hal berdua terdengar lebih menarik dan menyenangkan dibandingkan melakukan perjuangan sendiri, ya kan? Hehehe. Kapan-kapan aku juga mau dong mendengar rencana kamu tentang masa depan, ya kalau kamu sudah merasa siap dan bersedia untuk membaginya ke orang lain sih, aku nggak akan maksa kok.

Ran, sebetulnya saat pertama kali kamu menjauh itu, apa yang sebenarnya terjadi? Dan kenapa pada kali kedua kamu memutuskan untuk kembali? Aku nggak paham maksud segala kebaikan yang kamu berikan itu apa. Aku selalu berusaha untuk berpikir positif bahwa hal itu adalah hal wajar yang diberikan oleh seorang teman, tapi semua orang di sekitarku malah jadi menganggapku bodoh dan mereka bilang aku segitu lemahnya dalam menangkap sinyal yang kamu berikan. Itu sempat membuatku gusar beberapa saat dan jadi terbawa perasaan. Maaf ya, gara-gara itu kamu jadi nggak nyaman ya waktu itu?:(

Kali ini kamu menjauh karena itu ya, Ran? Karena kamu mulai merasa tidak nyaman. Aku minta maaf ya. Ah.... kamu tidak pernah suka melihatku minta maaf ya, tapi memang aku merasa bersalah gimana dong?

Kalau aku boleh berpikir lebih percaya diri, apakah kali ini kamu menjauh karena ingin membuat ruang untuk sesuatu yang bernama rindu? Atau memang kamu jahil saja, senang bisa membuat orang lain merasa kehilangan dan berujung membutuhkanmu? Hehe yang terakhir terdengar aku suudzon sekali ya.

Ran, aku nggak tahu seperti apa yang kamu rasakan. Yang pasti aku tahu sekarang apa yang aku rasakan. Terlalu egoiskah aku jika aku meminta tolong padamu untuk lebih bersabar dan berjuang kali ini? Berjuang membuatku kembali merasakan degup itu lagi untukmu seorang, berjuang membantuku terlepas dari masa lalu, dan berjuang untuk membantuku hadir sepenuhnya untukmu di sini. Jika memang apa yang kamu rasakan sama seperti yang aku rasakan dulu terhadapmu, Randi, aku mau untuk merasakan hal yang dulu aku rasakan sekali lagi. Kali ini dengan tanpa interupsi.

Randi, sejujurnya jika boleh aku mengatakannya, jika saja aku punya keberanian untuk mengungkapkannya, sungguh aku akan bilang kepadamu bahwa........

Aku rindu, cepat lah kembali.

With love,
Gina

**********

Gina menutup buku diary nya dan meletakkannya di atas pangkuannya. Danau di depannya terasa begitu menenangkan, riak airnya membuat danau itu terlihat sedang mengalir ke beberapa arah. Sore itu angin kembali bertiup perlahan, namun tetap menyejukkan, mengibaskan kembali rok panjang yang dikenakan Gina. Kali ini rok berwarna hitam yang dipadukan dengan blouse berwarna biru langit.

Sisa sore itu Gina habiskan dengan duduk di bangku taman memandang kesunyian yang disuguhkan danau di hadapannya sembari memegang buku diary dipangkuannya. Sempat terlintas dipikirannya untuk benar-benar mengirimkan surat itu kepada Randi, namun kembali urung. Entah pikiran bodoh apa itu, ia terlalu takut melihat reaksi yang akan diberikan oleh Randi kalau-kalau lelaki itu memberikan reaksi negatif yang berlawanan dengan apa yang ia harapkan.




Comments

Popular posts from this blog

Working Mom VS Stay at Home Mom #4 - The Versus

Working Mom VS Stay at Home Mom #5 - Why I Choose It