Working Mom VS Stay at Home Mom #1 - Intro
Edited - Photo Source |
Halo!
Kali ini gue mau membahas tentang karir seorang wanita, tepatnya pilihan ketika sudah menikah nanti hehe. Kebetulan kemarin malam gue baru menyelesaikan membaca buku Wanita Berkarir Surga. Haduduh kedengerannya gimana gitu ya hahaha Alhamdulillah ini buku pemberian seorang teman sebagai ucapan selamat karena telah sidang skripsi kemarin itu, udah cukup lama sih emang bukunya ada di rumah dan baru semalam bisa baca buku itu hehe.
Gue mau bahas sedikit isi buku ini mungkin nanti, tapi dari kacamata gue yang tentunya adalah seseorang yang masih miskin ilmu. Jadi, kalau ada yang selisih pendapat atau tidak suka dengan apa yang gue tuliskan, gue mohon maaf sebelumnya. Gue tidak bermaksud untuk menyinggung atau menjelekkan, hanya mencoba berpendapat. Kalau ada kritik dan saran mohon untuk langsung dikirimkan personal kepada gue ya, atau mungkin kita bisa sedikit mengobrol kalau mau? Hehe terimakasih sebelumnya.
Nah, lanjut ya. Gue mau flashback dulu awal mula kenapa gue bisa tiba-tiba jadi kepikiran tentang pembahasan ini padahal jenjangnya masih belum sampai tahap ke sana hehe. Dulu, gue adalah tipe orang yang let it flow, yaudah lah jalanin aja yang ada. Dari kecil setiap kali ditanya gue mau jadi apa, gue bener-bener nggak tau mau jadi apa. Sampai pada akhirnya gue menemukan apa yang gue pikir gue butuhkan, gue inget banget waktu itu kelas 7 SMP, gue menemukan mau masuk jurusan apa saat kuliah nanti. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan gue, gue punya tujuan. Waktu SD sama SMP, masuk sekolah mana pun yang menentukan mama, gue mah yang penting sekolah. Namun, semua itu kandas ketika gue mencoba bilang sama mama dan papa tentang rencana gue mau masuk jurusan apa saat kuliah. Hal ini bertambah parah ketika SMA. Gue dan mama sempat perang dingin hahaha jangan dicontoh ya. Akhirnya gue ngalah dan pasrah, yaudah gue ikut aja maunya mama gimana. Papa? Entah lah sebenernya beliau maunya gimana, tapi papa selalu bilang terserah gue jadi ya gitu. Di titik itu, rasanya tujuan hidup gue kandas. Sekali lagi dalam kehidupan, gue nggak punya tujuan, nggak tau mau ngapain, dan yaudah let it flow lagi aja.
Sampai pada akhirnya gue merasa semua udah cukup terlambat. Gue selalu merasa berada dalam persimpangan pilihan yang gue nggak tau harus ambil ke mana karena nggak tau mau ngambil ujung jalan yang seperti apa. Semua hal gue ambil setiap ada kesempatan, gue jadi sosok yang "rakus" dan nggak mau melewatkan satu pun kesempatan menarik di depan mata. Begitu terus sampai pada akhirnya, ketika lulus, gue baru tau bahwa dalam Islam ternyata nggak boleh bersikap let it flow hehehe. Ini lah titik awal dimulainya gue memikirkan tentang banyak hal.
Enam bulan terakhir gue termasuk dalam kategori orang yang tidak memiliki kegiatan berarti sama sekali, istilah gampangnya "lagi gabut" hehe. Kegabutan gue ini menyebabkan gue menjadi semakin overthinking terhadap banyak hal. Bener-bener "banyak hal", bahkan pemikiran yang sebenernya ya nggak usah dipikirin gitu. Gue termasuk orang yang kalau udah memikirkan sesuatu terus menerus akan menjadi gelisah. Alhasil gue sempat menyusahkan tidak sedikit orang di sekeliling gue hehe maafin aku ya kak, maafin gue juga ya teman-teman semua yang pernah gue repotin dengan obrolan random yang cukup membuat berpikir hehe.
Nah, akibat dari itu masuk lah gue ke dalam fase di mana yang kalo kata orang dalam bahasa kerennya adalah gue mengalami Quarter Life Crisis, meskipun umur gue baru aja masuk 20-an, belum sampai seperempat abad haha. Nah, di sini gue bukan mau me.mbahas tentang QLC, tapi salah satu efeknya aja, yaitu pemikiran tentang masa depan dalam jenjang pernikahan.
Kalian mungkin berpikir untuk apa memikirkan hal itu, toh hilal jodoh aja belum keliatan woy hahahaha. Gue juga sempet mikir gitu dan menertawakan diri gue sendiri kok. Tapi gue tidak menyesal dan malah mau menyarankan kalian untuk ikutan memikirkan hal ini sebelum benar-benar dihadapi pada kondisi sesungguhnya, jadi kita bisa bersiap untuk mengumpulkan amunisi yang dibutuhkan dalam menghadapi kondisi aslinya nanti hehe. Kok amunisi? Iya amunisi untuk bisa berdiskusi sama suami kelak kalau ternyata apa yang kita inginkan berbeda dari apa yang direncanakan oleh suami kita. Tentang apa? Tentang pilihan menjadi working mom atau stay at home mom.
Awal pertama gue mikirin ini sekitar 1 tahun lalu, setelah obrolan gue sama seseorang tentang masalah ini. Dari dulu gue termasuk orang yang kekeuh tentang pilihan kalau udah menikah ya cewek tetep harus boleh bekerja. Menikah bukan penghalang untuk seseorang menggapai apa yang dia impikan sebelumnya, menikah bukan menjadi dinding pembatas untuk bisa melakukan apa yang disukai, tapi seharusnya dengan menikah maka bisa mempermudah banyak jalan untuk melakukan itu semua karena ada "temen bareng" yang sama-sama mau untuk saling bantu-membantu. Menikah seharusnya bukan jadi momok penghalang untuk seorang wanita berkembang dan gue sangat marah pada semua laki-laki yang berpikir sebaliknya bahkan yang cenderung memberi kesan "mengambil alih" seluruh jalan hidup si wanita. Menikah tidak seegois itu.
Gue nggak suka juga dengan pemikiran para laki-laki yang dengan santainya bilang bahwa setelah menikah ya tugasnya wanita di rumah aja, udah titik. Oh tidak semudah itu, Ferguso! Kalian pikir kita wanita ini asisten rumah gratisan buat kalian? Atau sekedar pemuas gairah seksual kalian aja? Atau "mesin pencetak" keturunan semata? Oh tentu tidak, bahkan ajaran Islam untuk mengutamakan wanita berada di dalam rumah saja bukan seperti itu maksud dan tujuannya. Itu sungguh sesat pikir.
Hal lain yang membuat gue kekeuh tentang working mom adalah bahwa kita nggak pernah tau kan siapa yang berpulang duluan, sang suami atau istri. Kalau sebagai seorang istri nggak punya "pegangan" sendiri, terus tiba-tiba ditinggal meninggal suaminya, piye? Tidak mau, sungguh gue tidak mau bersusah payah untuk kedua kalinya. Apalagi dalam kondisi sebelumnya yang bisa dikatakan nyaman karena nggak usah bersusah payah menguras keringat terus tiba-tiba harus banting tulang sendirian, gue merasa tidak sanggup sih. Lain cerita kalau jatuh bareng ya, namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, berjuang bareng tentu beda rasanya dengan berjuang hidup sendirian apalagi ada tanggungan anak-anak di belakang. Gue tau kok masih ada Allah, gue ngerti, tapi kan sebagai manusia kita tetap harus berusaha ya kan? Nah, gue merasa bahwa dengan tetap bekerja pada masa pernikahan merupakan salah satu usaha antisipasi juga, sehingga pilihan tentang "istri di rumah aja nggak usah kerja" adalah sebuah pilihan egoisme para lelaki.
Gue nggak suka juga dengan pemikiran para laki-laki yang dengan santainya bilang bahwa setelah menikah ya tugasnya wanita di rumah aja, udah titik. Oh tidak semudah itu, Ferguso! Kalian pikir kita wanita ini asisten rumah gratisan buat kalian? Atau sekedar pemuas gairah seksual kalian aja? Atau "mesin pencetak" keturunan semata? Oh tentu tidak, bahkan ajaran Islam untuk mengutamakan wanita berada di dalam rumah saja bukan seperti itu maksud dan tujuannya. Itu sungguh sesat pikir.
Hal lain yang membuat gue kekeuh tentang working mom adalah bahwa kita nggak pernah tau kan siapa yang berpulang duluan, sang suami atau istri. Kalau sebagai seorang istri nggak punya "pegangan" sendiri, terus tiba-tiba ditinggal meninggal suaminya, piye? Tidak mau, sungguh gue tidak mau bersusah payah untuk kedua kalinya. Apalagi dalam kondisi sebelumnya yang bisa dikatakan nyaman karena nggak usah bersusah payah menguras keringat terus tiba-tiba harus banting tulang sendirian, gue merasa tidak sanggup sih. Lain cerita kalau jatuh bareng ya, namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, berjuang bareng tentu beda rasanya dengan berjuang hidup sendirian apalagi ada tanggungan anak-anak di belakang. Gue tau kok masih ada Allah, gue ngerti, tapi kan sebagai manusia kita tetap harus berusaha ya kan? Nah, gue merasa bahwa dengan tetap bekerja pada masa pernikahan merupakan salah satu usaha antisipasi juga, sehingga pilihan tentang "istri di rumah aja nggak usah kerja" adalah sebuah pilihan egoisme para lelaki.
Dari dulu, mama dan papa selalu mengajarkan gue bahwa setelah menikah nggak boleh yang namanya "cuma nadah uang suami", kasarnya. Harus tetap bisa mandiri. Mama bahkan dari dulu udah ngasih lampu hijau bersedia untuk dititipin cucu kalau nanti gue dan suami sama-sama bekerja ke kantor, padahal mah lampu hijau untuk ke jenjang pernikahannya aja belum nyala hahahaha. Jadi, gue taunya bahwa ini adalah pilihan hidup terbaik. Apalagi kehidupan di kota besar saat ini secara sadar tidak sadar menekankan pemikiran bahwa seorang wanita itu akan dikatakan sukses ketika dia berpendidikan tinggi dan memiliki pekerjaan bagus dengan gaji yang WOW.
Lalu, pandangan gue jadi tidak sekaku itu lagi ketika sekitar satu tahun lalu itu. Obrolan yang hampir membuat gue marah sama orang yang gue ajak ngobrol itu, membuat gue jadi mempertimbangkan beberapa hal tentang kedua pilihan ini. Ditambah lagi, Allah menuntun gue waktu itu untuk datang ke sebuah acara yang pembicaranya pro banget sama pilihan stay at home mom, sedangkan gue saat itu masih kontra banget wkwkwk. Bahkan ketika gue mengajukan pertanyaan personal setelah acara selesai (gue kenal sama pembicaranya juga sih soalnya haha), beliau tetap kekeuh bahwa stay at home mom is the best choice and she proud to be one of them. Gue makin marah dan nggak terima sih saat itu, cuma ya nggak gue ekspresikan ke beliau haha tapi lebih ke diri sendiri. Gue nggak terima dengan semua ucapan mereka itu, nggak banget lah menurut gue waktu itu ahahaha. Dan di situ, kedua kalinya gue sebel sama syariat Islam, setelah masalah poligami wkwk. Kalau bisa dibilang mungkin kalau saat itu gue benar-benar futur iman, gue akan ikutan menggaungkan gerakan feminisme. Ya, gue segitu tidak sukanya pada penjelasan kedua orang yang gue ajak bicara itu, segitu nggak sukanya sampai gue sebel banget sama ajaran yang seharusnya gue anut dan gue pahami.
Alhamdulillah nya Allah masih mau menuntun gue untuk tidak berhenti di sana. Allah membantu gue untuk melihat lebih dekat kedua pilihan itu. Sampai akhirnya gue paham bahwa syariat agama adalah hal benar karena turun langsung dari Yang Maha Mengetahui, nggak mungkin salah karena Dia paling paham dah. Yang salah apa dong?
Terus hasilnya sekarang apa buat pengambilan keputusan gue? Tetep sih,
1. Fitrah Seorang Wanita (#2)
2. Isu Kesetaraan Gender dan Feminisme (#3)
3. The Versus (#4)
4. Why I Choose It (#5)
Maafkan gue yang membagi tulisan ini menjadi beberapa tulisan karena kalau dijadiin satu bisa jadi 11 12 sama novel kayaknya hahahaha. Ah iya gue tidak bermaksud menjelekkan pilihan stay at home mom lho ya, itu pilihan luar biasa dan mulia, tapi gue merasa bukan itu yang pas buat gue jadi gue hanya mencoba berbagi pandangan dari sisi yang satunya. Gue juga tidak menganggap bahwa stay at home mom itu jelek, sama sekali nggak. Keduanya patut mendapatkan acungan jempol sama banyaknya.
Semoga kita bisa sama-sama belajar dan punya pemahaman yang tidak sekaku sebelumnya ya. Gue harap tidak hanya perempuan yang mau belajar, tapi laki-laki juga mau belajar untuk memahami sudut pandang lain dari perempuan yang lebih cenderung memilih untuk menjadi seorang working mom.
Lalu, pandangan gue jadi tidak sekaku itu lagi ketika sekitar satu tahun lalu itu. Obrolan yang hampir membuat gue marah sama orang yang gue ajak ngobrol itu, membuat gue jadi mempertimbangkan beberapa hal tentang kedua pilihan ini. Ditambah lagi, Allah menuntun gue waktu itu untuk datang ke sebuah acara yang pembicaranya pro banget sama pilihan stay at home mom, sedangkan gue saat itu masih kontra banget wkwkwk. Bahkan ketika gue mengajukan pertanyaan personal setelah acara selesai (gue kenal sama pembicaranya juga sih soalnya haha), beliau tetap kekeuh bahwa stay at home mom is the best choice and she proud to be one of them. Gue makin marah dan nggak terima sih saat itu, cuma ya nggak gue ekspresikan ke beliau haha tapi lebih ke diri sendiri. Gue nggak terima dengan semua ucapan mereka itu, nggak banget lah menurut gue waktu itu ahahaha. Dan di situ, kedua kalinya gue sebel sama syariat Islam, setelah masalah poligami wkwk. Kalau bisa dibilang mungkin kalau saat itu gue benar-benar futur iman, gue akan ikutan menggaungkan gerakan feminisme. Ya, gue segitu tidak sukanya pada penjelasan kedua orang yang gue ajak bicara itu, segitu nggak sukanya sampai gue sebel banget sama ajaran yang seharusnya gue anut dan gue pahami.
Alhamdulillah nya Allah masih mau menuntun gue untuk tidak berhenti di sana. Allah membantu gue untuk melihat lebih dekat kedua pilihan itu. Sampai akhirnya gue paham bahwa syariat agama adalah hal benar karena turun langsung dari Yang Maha Mengetahui, nggak mungkin salah karena Dia paling paham dah. Yang salah apa dong?
Yang salah adalah ketika kita sebagai orang yang miskin ilmu udah keburu judging duluan sebelum mau belajar dan mencari tahu dari sumber yang benar.Sumber yang benar itu termasuk kepada siapa kita mau mendengarkan ya, karena ada dua tipe pendakwah secara garis besar, yaitu yang "keras" dan yang "lembut". Kalau dalam konteks seperti ini, gue menyadari bahwa mendengarkan orang yang melakukan dakwahnya dengan pendekatan lemah lembut akan lebih bisa kita terima karena gue mengalami itu sih, gue lebih bisa menerima hikmah ajaran syariat dibandingkan hanya dengan mimik "ya karena Tuhan bilang gitu, harusnya emang gitu". Jangan dalam kondisi marah terus malah mendengarkan dakwah dari orang yang "saklek", karena keras bertemu dengan keras tidak selamanya menjadi jalan keluar terbaik. Ingat cerita tentang batu yang hancur akibat tetesan air, bukan?
Terus hasilnya sekarang apa buat pengambilan keputusan gue? Tetep sih,
I choose to be a working momYha kan belom ada suaminya? IYA SIH WKWKWK. Tapi setidaknya ada model "working mom"-nya yang sekarang bisa lebih gue pahami dengan mata terbuka, jadi gue punya amunisi untuk berdiskusi nantinya HAHAHA. Gue juga yakin bahwa seorang laki-laki shaleh pasti akan paham kok bahwa tugas seorang wanita bukan cuma ngurus rumah dan dia juga paham bahwa wanita juga punya andil yang tidak kalah penting dalam membangun masyarakat. Gimana maksudnya? Yuk, baca pelan-pelan di bawah ya hehe. Kalian bisa pilih mau baca yang mana, tapi saran gue sih baca berurutan sesuai dengan yang gue cantumkan hehehehe.
1. Fitrah Seorang Wanita (#2)
2. Isu Kesetaraan Gender dan Feminisme (#3)
3. The Versus (#4)
4. Why I Choose It (#5)
Maafkan gue yang membagi tulisan ini menjadi beberapa tulisan karena kalau dijadiin satu bisa jadi 11 12 sama novel kayaknya hahahaha. Ah iya gue tidak bermaksud menjelekkan pilihan stay at home mom lho ya, itu pilihan luar biasa dan mulia, tapi gue merasa bukan itu yang pas buat gue jadi gue hanya mencoba berbagi pandangan dari sisi yang satunya. Gue juga tidak menganggap bahwa stay at home mom itu jelek, sama sekali nggak. Keduanya patut mendapatkan acungan jempol sama banyaknya.
Semoga kita bisa sama-sama belajar dan punya pemahaman yang tidak sekaku sebelumnya ya. Gue harap tidak hanya perempuan yang mau belajar, tapi laki-laki juga mau belajar untuk memahami sudut pandang lain dari perempuan yang lebih cenderung memilih untuk menjadi seorang working mom.
Comments
Post a Comment