Belajar dan Berkarya, Kewajiban Seorang Muslim dan Muslimah
Photo Source |
Udah satu bulan lebih dari hari sidang skripsi gue dan selama itu pun tidak ada hal yang udah gue hasilkan atau pun kerjakan. Mungkin gue masuk ke dalam momen di mana gue terlena dalam kondisi senggang antara sidang dengan wisuda. Di saat yang sama, temen-temen gue yang lain sudah mulai melangkah ke jenjang yang mereka harapkan. Ada yang mulai usaha bareng keluarganya, ada yang magang di perusahaan bergengsi, ada yang mulai meniti karir di perusahaan yang mereka inginkan, ada yang mulai meniti karir di bidang yang diinginkan, ada yang mulai mendaftar untuk S2, dan banyak "ada" yang lain. Setiap buka linkedin, cuma bisa ketawa "hehe" doang at the very first time dan ikut bersyukur kemudian pas ngeliat notifikasi yang muncul tentang jabatan-jabatan yang mulai ditekuni oleh teman-teman gue. Kalau ditanya sekarang kesibukan gue apa, dengan sambil ketawa gue masih bisa bilang gue jadi pengacara sekarang. Ya, pengangguran banyak acara hehe. Dan penyumbang terbaik CO2 dan H2S bagi negara hehehe if you know what I mean.
Lalu, beberapa hari lalu, temen gue ngirimin gue foto poster dari sebuah kajian kemuslimahan yang diadain di MUI, Masjid Ukhuwah Islamiyah di UI, di hari ini setelah ashar. Awalnya gue mikir, yaudah lah ya mumpung kosong juga lumayan nuntut ilmu toh nggak ada salahnya dan pas juga kebetulan siangnya gue ada urusan lain di kampus jadi sekalian.
Temanya biasa aja sih, seputar self-upgrading gitu lah ya kalau bahasa kerennya hehe. Pas awal dibuka ternyata pembicaranya adalah salah seorang civitas akademika UI yang beberapa bulan lalu pernah menjadi salah satu pembicara yang mengisi materi di kajian kemuslimahan lain. Nama beliau Riani Rachmawati, S.E., M.A., PhD., seorang Direktur SDM UI dan salah satu dosen di FEB (yang ternyata setelahnya gue baru tau beliau adalah pembimbing akademis salah seorang temen SMA gue yang kuliah di FEB hehe dunia sempit).
Di awal kajian si ibu mulai dengan ceritanya semasa kuliah di luar negeri. Sejauh yang beliau baca, jurnal dan buku referensi yang ada itu ditulis oleh orang non muslim, sangat sedikit sekali penulis dengan nama islami yang menjadi penulis salah satu referensi. Beliau juga cerita setiap kali datang ke konferensi, beliau senang karena bisa bertemu, berbincang, dan berfoto dengan orang-orang yang selama ini beliau baca tulisannya. Di sisi lain, beliau juga sedih karena yang beliau liat bule semua. Padahal banyak ilmuwan kita, nggak sedikit juga ilmuwan muslim. Lantas, ke mana mereka semua?
Permasalahan kita adalah pada kegemaran membaca dan menulis. Di awal-awal turunnya ayat Al-Qur'an, perintah membaca (Al-'Alaq) dan menulis (Al-Qalam) merupakan perintah awal-awal dari Allah SWT. Perintahnya dari Tuhan lho, berarti kedua kegiatan ini adalah wajib untuk dilakukan, bukan? Sayangnya, pada kenyataannya sekarang kondisinya tidak seperti itu. Jangan kan untuk menulis, untuk membaca saja rasanya pasti malas. Kalau lagi susah tidur, coba aja baca jurnal, beberapa menit kemudian pasti bisa tidur hehehe. Beliau bilang pada kenyataannya, kondisi saat ini kita sangat terlena dengan kemudahan teknologi yang ada. Lebih menyenangkan untuk menonton youtube, buka sosial media, berselancara di internet, dibandingkan dengan membaca dan menulis. Hal ini lah yang menjadi salah satu akar masalah kita saat ini, padahal sebenarnya potensi itu pasti ada di mana-mana, bahkan setiap orang mungkin memiliki potensi untuk menerbitkan jurnal atau bahkan buku referensi sebuah bidang ilmu.
Ketika mendengar bagian awalnya aja, gue udah merasa sangat tertampar. Usia gue udah 21 tahun lebih 6 bulan 11 hari kurang lebih, selama ini kontribusi apa yang udah gue lakukan? Sudah kah gue bermanfaat bagi sesama? Sudahkah ilmu gue berguna bagi orang lain? Ketika gue memikirkan ini dan menarik ke belakang, sungguh hidup gue selama ini begitu egois.
Beliau melanjutkan, salah satu tugas kita sebagai seorang makhluk adalah berdakwah. Dalam hadits Nabi SAW pun dikatakan kan bahwa "Sampaikan lah, walau hanya satu ayat". Menulis bisa menjadi salah satu alat yang bisa kita gunakan. Bahkan sebuah tulisan adalah alat yang bisa paling tepat sasaran ke hati orang lain yang membacanya. Nggak sedikit kok orang yang berubah cara pandangnya setelah membaca tulisan orang lain. Bahkan nggak jarang kan kita pernah denger cerita ilmuwan luar negeri masuk Islam setelah mereka mempelajari sesuatu. Kenapa bisa gitu? Karena sejatinya semua dalam hidup ini sudah tertulis di dalam Al-Qur'an, sudah ada sejak 1400 tahun yang lalu.
Gue pernah denger salah satu ceramah, kalau nggak salah sih ceramahnya Ust.Hanan Attaki (kalau salah mohon dimaafkan hehe), ustad ini bilang bahwa Islam adalah agama bagi orang-orang yang berpikir. Pernah juga mendengar (entah hadits atau ayat Al-Qur'an, duh maafin gue yang suka agak-agak lupa) bahwa seharusnya semakin kita menuntut ilmu, semakin dalam kita belajar, semakin kita bisa melihat ke-Esa-an Allah SWT.
Hal lain yang mungkin menjadi alasan banyak dari kita yang belum berhasil menerbitkan buku atau jurnal internasional yang bermanfaat adalah karena kita selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Belajar baru seminggu, tapi berharap langsung mengerti materinya. Baru belajar sedikit, tapi udah berharap jadi ahli dan paham bidang ilmunya. Pengennya cuma belajar sebulan aja, tapi pengen langsung paham dan bisa ahli. Padahal belajar itu butuh waktu, butuh sabar. Kata beliau, nggak ada kesuksesan yan sustainable yang datang dari proses yang instan, easy come easy go.
Ilmu itu nggak cuma tentang ilmu saintek atau soshum, nggak cuma tentang ilmu yang kita pelajari di sekolah atau pun bangku kuliah. Ilmu itu menyeluruh dan sejatinya kita akan diharuskan untuk terus menuntut ilmu. Dalam hidup, seiring waktu berjalan akan ada peran yang silih berganti diamanahkan dalam kehidupan kita dan untuk menjalaninya diperlukan pembelajaran serta ilmu yang mumpuni agar kita bisa menjalankan peran itu dengan maksimal. Misalkan, ketika memiliki anak, ada ilmu baru dan khusus yang harus kita pelajari tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Lalu, ketika anak kita sudah memiliki anak, kita harus belajar bagaimana caranya menjadi seorang nenek yang baik agar bisa mendidik cucu kita dengan baik. Kita akan dituntut untuk terus belajar seiring dengan berbagai peran yang harus kita jalankan.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita juga butuh ilmu. Kita harus tahu sebenarnya tujuan kita hidup itu apa, peran kita di masyarakat itu bagaimana, kewajiban kita sebagai makhluk itu apa, dan berbagai ilmu lain. Ilmu pun tidak bisa dikotakkan antara ilmu dunia dan ilmu agama karena sejatinya semua ilmu itu turunnya dari langit, atas izin Allah SWT lah kita bisa memahami ilmu. Sesungguhnya ilmu yang dibawa oleh Islam adalah ilmu tentang kehidupan, maka sebaiknya jembatani lah ilmu dunia yang kita pelajari dengan ilmu agama, jangan dipisahkan.
Dari pemaparan beliau, syarat menuntut ilmu dari Ali bin Abi Thalib, yaitu:
-Kecerdasan
-Kemauan
-Kesabaran
-Biaya
-Bimbingan guru
-Waktu yang lama
Menurut Ali bin Abi Thalib, kecerdasan itu ada dua jenis yaitu kecerdasan yang dimiliki dari lahir (berkah dari Allah SWT) dan kecerdasan yang didapatkan hasil dari ketekunan. Kalau kata salah satu pembimbing skripsi gue waktu itu, sebetulnya kecerdasan secara gen itu hanya berguna sebanyak 20%, 80% kecerdasan kita itu bisa didapat dari ketekunan kita dalam belajar. Gue sendiri pun percaya bahwa sebenernya setiap orang itu cerdas, setiap orang punya potensi, permasalahannya adalah faktor eksternalnya.
Ibu Riani mengatakan bahwa kita sebagai seorang muslim harus mengerjakan sesuatu itu all out, harus bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Kalau awalnya udah "kecebur" ke dalam sesuatu, sekalian aja menyelam ke dalam, tekuni dan jadi lah ahli di sana, jangan setengah-setengah. Begitu pun dalam menuntut ilmu. Ilmu yang ditekuni nggak harus tentang prodi yang ada di universitas aja, banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai bidang spesialisasi kita dalam hidup. Sebagai contoh, teman Ibu Riani ada yang dibilang sebagai resep berjalan, suka banget masak dan beliau menekuni hal itu sampai paham ke teknik-teknik seperti bagaimana cara membuat sebuah kue mengembang. Kalau passion kita adalah sesuatu yang berhubungan dengan jurusan yang kita ambil, maka bersyukur lah dan terus berusaha belajar sampai pada akhirnya kita ahli di bidang tersebut.
Terus gimana kalau kondisinya tidak memungkinkan kita menekuni bidang yang menjadi passion menurut kita? Still do your best. Gue baru baca semacam quote gitu tadi di instagram yang isinya kurang lebih "ketika suatu kondisi yang tidak kamu suka terjadi dalam hidupmu, maka berusaha lah untuk mencintainya agar keadaan itu berbalik menjadi kondisi yang kamu sukai". Gampang emang ngomongnya, ngelakuinnya bisa berbeda-beda di setiap orang pastinya. But as far as I know, selama ini gue menekuni jurusan yang sejujurnya nggak gue banget gitu, bukan sesuatu yang bikin gue sampe lupa makan, bikin gue sibuk fokus, bikin gue menanti terbitnya matahari di esok hari. Bahkan jurusan yang gue minati bisa dibilang sangat jauh dari jurusan yang udah empat tahun ke belakang gue tekuni. Selama empat tahun ini, gue belajar memahami bahwa di dalam sesuatu yang kita nggak suka pasti masih ada kok bagian yang menyenangkan. Tinggal balik ke kita nya lagi aja, mau apa nggak untuk menerima kondisi itu, mau apa nggak mencari "celahnya", mau apa nggak berdamai dengan kondisi yang ada.
Gue juga masih belum berdamai banget kok sama keadaan gue sekarang, tapi gue tetep berusaha. Dan setau gue, se-yang gue pahami, keep trying is the most important action we could do in our entire life.
Ibu Riani juga bilang bahwa sebaiknya mulai dari saat ini, mulai dari sekarang, ayo tentukan spesialisasi apa yang mau kita ambil dalam hidup kita. Tentukan dan tekuni hingga nanti kita bisa dikatakan sebagai ahli dalam hal tersebut. Menjadi ahli, memiliki ilmu yang mumpuni dalam suatu bidang, bukan untuk menjadikan diri kita sebagai pribadi yang sombong, tetapi untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Jadi lah seseorang yang ahli pada suatu bidang, sehingga ketika ada yang ingin bertanya tentang bidang kita itu, kita bisa jawab, kita bisa bantu orang tersebut dengan ilmu yang kita punya. Untuk bisa dipercaya orang menjawab pertanyaan yang dia ajukan tentang bidang kita itu, kita perlu waktu yang cukup lama, diperlukan waktu beberapa lama dalam belajarnya sambil membangun portfolio diri kita. Seperti yang udah gue bahas di atas, nggak bisa cuma belajar sebulan, eh tiba-tiba udah merasa jadi yang paling ahli di bidang tersebut.
Karena waktunya lama, dalam proses belajar itu kita harus sabar. Sabar juga termasuk salah satu adab dalam menuntut ilmu, bukan? Selain memakan waktu, proses belajar itu memakan biaya yang nggak sedikit juga. Untuk dateng ke majelis ilmu, pasti butuh ongkos. Belum lagi butuh beli buku penunjang. Para orang tua dari imam besar tuh sampai rela menjual aset mereka demi anaknya bisa menuntut ilmu setinggi mungkin. Ada banyak pengorbanan dalam menuntut ilmu, maka akan dibutuhkan kesabaran luar biasa extra juga di dalam prosesnya.
Kata Ibu Riani, dengan mudahnya teknologi saat ini, proses menuntut ilmu juga jadi "digampangkan" ole kebanyakan orang. Hanya dengan menyiapkan Google dan Youtube aja orang sudah bisa merasa bahwa mereka sedang menuntut ilmu. Padahal seharusnya, kita tetap butuh bimbingan dari seseorang, kita tetap butuh seorang guru untuk membimbing kita. Kita tetap butuh minimal seorang mentor untuk bisa kita tanya, untuk bisa diajak berdiskusi dan bertukar pendapat, untuk bisa diminta bimbingan, serta sekedar bertukar informasi referensi. Ibu Riani memiliki mentor dalam setiap aspek kehidupannya, mentor dalam hal menjalankan peran Direktur SDM, mentor untuk menjadi ibu, mentor untuk melatih leadership, dan berbagai macam jenis mentor lainnya yang dirasa bisa membantu beliau dalam menjalani peran yang harus beliau jalankan.
Mentornya nggak harus yang lebih tua, terkadang yang lebih muda dari kita pun bisa jadi seorang mentor bagi kita. Di sini lah sifat tawadhu itu dibutuhkan. Jadi lah seorang yang rendah hati meskipun telah menjadi ahli dalam sesuatu. Ibu Riani cerita bahwa setiap kali mengajar mahasiswa S3, banyak ilmu tambahan yang beliau dapat dari mahasiswanya karena proses mengajar di kelas pun sejatinya adalah proses belajar juga bagi sang dosen. Beliau juga cerita bahwa beliau belajar mengenai pembuatan powerpoint yang lebih menarik dari mahasiswa S1. Beliau juga tidak segan mendengar pendapat berbeda yang dilontarkan dari para staff nya di bidang SDM. Jadi lah rendah hati, belajar dari mana saja dan dari siapa saja.
Hal ini beliau pelajari ketika beliau belajar di Inggris. Ketika beliau masih menjadi seorang mahasiswa, beliau mencoba berdiskusi dengan dosennya dan reaksi dosen tersebut sungguh berbeda dari apa yang biasanya dia rasakan. Dosennya benar-benar mendengarkan apa yang beliau jelaskan, meskipun tentu kala itu tingkat pengetahuannya masih sangat jauh di bawah dosennya tersebut, dosen beliau juga memberikan saran yang membangun dan benar-benar membimbing dengan memberikan saran improvement seperti apa yang perlu Ibu Riani lakukan kala itu terhadap wawasannya untuk memperluas sudut pandang serta ilmunya. Ibu Riani bilang kala itu adalah momen-momen paling menyenangkan sepanjang hdiup beliau dalam proses pembelajaran.
Rendah hati juga bisa ditunjukkan dalam bentuk apa yang kita lakukan. Ada seorang dosen Ibu Riani yang setiap ke kampus hanya naik sepeda, memakai rompi plastik biasa, dan berpakaian biasa. Namun, kalau dicari di google namnya, hasil tulisannya sangat banyak dan membantu memberikan ilmu bagi banyak orang. Orangnya pun nggak pernah mau dipanggil dengan gelarnya, maunya dipanggil nama langsung. Bagi dosen beliau itu, gelar bukan sesuatu yang harus dibanggakan, namun sebuah amanah yang harus ditanggung dan dikerjakan dengan penuh tanggung jawab.
Gue jadi semangat pengen ngerasain rasanya kuliah di negeri orang. Ngerasain betapa menyenangkannya proses belajar, ngerasain juga tantangan untuk menjadi seorang muslimah yang lebih paham tentang agamanya. Gue pikir betapa beruntungnya si ibu untuk bisa berada dalam lingkungan yang mendukung untuk dirinya melakukan self-upgrading, lingkungan yang membantunya bisa menempa dirinya. Lalu, si Ibu bilang bahwa seharusnya kita lah yang menyiapkan dan menciptakan sarana belajar kita itu, jangan cuma menunggu sampai takdir yang menuntut kita berada dalam kondisi tersebut. Ibu Riana mencontohkan dirinya yang mau membangun sifat percaya diri dan nggak gampang baper, jadi beliau mengikuti sebuah grup di WhatsApp yang mana ketika anggotanya sedang bertukar pendapat mereka bisa benar-benar menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap jawaban temannya, namun ketika membahas hal lain yang mereka setujui ya mereka baikan lagi bahkan ketika ketemu secara langsung pun tidak ada sama sekali yang menyimpan kesal atau pun sakit hati.
Berikut adalah beberapa kalimat tambahan dari Ibu Riani:
Satu kalimat yang gue suka yang diucapkan oleh Ibu Riani kemarin adalah
Yaudah, sekian dari curhatan gue tentang kajian kemuslimahan kemarin. Maaf jika masih ada kurang dan kesalahan di beberapa kalimat. Semoga bermanfaat ♥♥♥
Hal lain yang mungkin menjadi alasan banyak dari kita yang belum berhasil menerbitkan buku atau jurnal internasional yang bermanfaat adalah karena kita selalu mengharapkan sesuatu yang instan. Belajar baru seminggu, tapi berharap langsung mengerti materinya. Baru belajar sedikit, tapi udah berharap jadi ahli dan paham bidang ilmunya. Pengennya cuma belajar sebulan aja, tapi pengen langsung paham dan bisa ahli. Padahal belajar itu butuh waktu, butuh sabar. Kata beliau, nggak ada kesuksesan yan sustainable yang datang dari proses yang instan, easy come easy go.
Ilmu itu nggak cuma tentang ilmu saintek atau soshum, nggak cuma tentang ilmu yang kita pelajari di sekolah atau pun bangku kuliah. Ilmu itu menyeluruh dan sejatinya kita akan diharuskan untuk terus menuntut ilmu. Dalam hidup, seiring waktu berjalan akan ada peran yang silih berganti diamanahkan dalam kehidupan kita dan untuk menjalaninya diperlukan pembelajaran serta ilmu yang mumpuni agar kita bisa menjalankan peran itu dengan maksimal. Misalkan, ketika memiliki anak, ada ilmu baru dan khusus yang harus kita pelajari tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik. Lalu, ketika anak kita sudah memiliki anak, kita harus belajar bagaimana caranya menjadi seorang nenek yang baik agar bisa mendidik cucu kita dengan baik. Kita akan dituntut untuk terus belajar seiring dengan berbagai peran yang harus kita jalankan.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, kita juga butuh ilmu. Kita harus tahu sebenarnya tujuan kita hidup itu apa, peran kita di masyarakat itu bagaimana, kewajiban kita sebagai makhluk itu apa, dan berbagai ilmu lain. Ilmu pun tidak bisa dikotakkan antara ilmu dunia dan ilmu agama karena sejatinya semua ilmu itu turunnya dari langit, atas izin Allah SWT lah kita bisa memahami ilmu. Sesungguhnya ilmu yang dibawa oleh Islam adalah ilmu tentang kehidupan, maka sebaiknya jembatani lah ilmu dunia yang kita pelajari dengan ilmu agama, jangan dipisahkan.
Dari pemaparan beliau, syarat menuntut ilmu dari Ali bin Abi Thalib, yaitu:
-Kecerdasan
-Kemauan
-Kesabaran
-Biaya
-Bimbingan guru
-Waktu yang lama
Menurut Ali bin Abi Thalib, kecerdasan itu ada dua jenis yaitu kecerdasan yang dimiliki dari lahir (berkah dari Allah SWT) dan kecerdasan yang didapatkan hasil dari ketekunan. Kalau kata salah satu pembimbing skripsi gue waktu itu, sebetulnya kecerdasan secara gen itu hanya berguna sebanyak 20%, 80% kecerdasan kita itu bisa didapat dari ketekunan kita dalam belajar. Gue sendiri pun percaya bahwa sebenernya setiap orang itu cerdas, setiap orang punya potensi, permasalahannya adalah faktor eksternalnya.
Ibu Riani mengatakan bahwa kita sebagai seorang muslim harus mengerjakan sesuatu itu all out, harus bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Kalau awalnya udah "kecebur" ke dalam sesuatu, sekalian aja menyelam ke dalam, tekuni dan jadi lah ahli di sana, jangan setengah-setengah. Begitu pun dalam menuntut ilmu. Ilmu yang ditekuni nggak harus tentang prodi yang ada di universitas aja, banyak hal yang bisa kita jadikan sebagai bidang spesialisasi kita dalam hidup. Sebagai contoh, teman Ibu Riani ada yang dibilang sebagai resep berjalan, suka banget masak dan beliau menekuni hal itu sampai paham ke teknik-teknik seperti bagaimana cara membuat sebuah kue mengembang. Kalau passion kita adalah sesuatu yang berhubungan dengan jurusan yang kita ambil, maka bersyukur lah dan terus berusaha belajar sampai pada akhirnya kita ahli di bidang tersebut.
Terus gimana kalau kondisinya tidak memungkinkan kita menekuni bidang yang menjadi passion menurut kita? Still do your best. Gue baru baca semacam quote gitu tadi di instagram yang isinya kurang lebih "ketika suatu kondisi yang tidak kamu suka terjadi dalam hidupmu, maka berusaha lah untuk mencintainya agar keadaan itu berbalik menjadi kondisi yang kamu sukai". Gampang emang ngomongnya, ngelakuinnya bisa berbeda-beda di setiap orang pastinya. But as far as I know, selama ini gue menekuni jurusan yang sejujurnya nggak gue banget gitu, bukan sesuatu yang bikin gue sampe lupa makan, bikin gue sibuk fokus, bikin gue menanti terbitnya matahari di esok hari. Bahkan jurusan yang gue minati bisa dibilang sangat jauh dari jurusan yang udah empat tahun ke belakang gue tekuni. Selama empat tahun ini, gue belajar memahami bahwa di dalam sesuatu yang kita nggak suka pasti masih ada kok bagian yang menyenangkan. Tinggal balik ke kita nya lagi aja, mau apa nggak untuk menerima kondisi itu, mau apa nggak mencari "celahnya", mau apa nggak berdamai dengan kondisi yang ada.
Gue juga masih belum berdamai banget kok sama keadaan gue sekarang, tapi gue tetep berusaha. Dan setau gue, se-yang gue pahami, keep trying is the most important action we could do in our entire life.
Ibu Riani juga bilang bahwa sebaiknya mulai dari saat ini, mulai dari sekarang, ayo tentukan spesialisasi apa yang mau kita ambil dalam hidup kita. Tentukan dan tekuni hingga nanti kita bisa dikatakan sebagai ahli dalam hal tersebut. Menjadi ahli, memiliki ilmu yang mumpuni dalam suatu bidang, bukan untuk menjadikan diri kita sebagai pribadi yang sombong, tetapi untuk menjadi bermanfaat bagi orang lain. Jadi lah seseorang yang ahli pada suatu bidang, sehingga ketika ada yang ingin bertanya tentang bidang kita itu, kita bisa jawab, kita bisa bantu orang tersebut dengan ilmu yang kita punya. Untuk bisa dipercaya orang menjawab pertanyaan yang dia ajukan tentang bidang kita itu, kita perlu waktu yang cukup lama, diperlukan waktu beberapa lama dalam belajarnya sambil membangun portfolio diri kita. Seperti yang udah gue bahas di atas, nggak bisa cuma belajar sebulan, eh tiba-tiba udah merasa jadi yang paling ahli di bidang tersebut.
Karena waktunya lama, dalam proses belajar itu kita harus sabar. Sabar juga termasuk salah satu adab dalam menuntut ilmu, bukan? Selain memakan waktu, proses belajar itu memakan biaya yang nggak sedikit juga. Untuk dateng ke majelis ilmu, pasti butuh ongkos. Belum lagi butuh beli buku penunjang. Para orang tua dari imam besar tuh sampai rela menjual aset mereka demi anaknya bisa menuntut ilmu setinggi mungkin. Ada banyak pengorbanan dalam menuntut ilmu, maka akan dibutuhkan kesabaran luar biasa extra juga di dalam prosesnya.
Kata Ibu Riani, dengan mudahnya teknologi saat ini, proses menuntut ilmu juga jadi "digampangkan" ole kebanyakan orang. Hanya dengan menyiapkan Google dan Youtube aja orang sudah bisa merasa bahwa mereka sedang menuntut ilmu. Padahal seharusnya, kita tetap butuh bimbingan dari seseorang, kita tetap butuh seorang guru untuk membimbing kita. Kita tetap butuh minimal seorang mentor untuk bisa kita tanya, untuk bisa diajak berdiskusi dan bertukar pendapat, untuk bisa diminta bimbingan, serta sekedar bertukar informasi referensi. Ibu Riani memiliki mentor dalam setiap aspek kehidupannya, mentor dalam hal menjalankan peran Direktur SDM, mentor untuk menjadi ibu, mentor untuk melatih leadership, dan berbagai macam jenis mentor lainnya yang dirasa bisa membantu beliau dalam menjalani peran yang harus beliau jalankan.
Mentornya nggak harus yang lebih tua, terkadang yang lebih muda dari kita pun bisa jadi seorang mentor bagi kita. Di sini lah sifat tawadhu itu dibutuhkan. Jadi lah seorang yang rendah hati meskipun telah menjadi ahli dalam sesuatu. Ibu Riani cerita bahwa setiap kali mengajar mahasiswa S3, banyak ilmu tambahan yang beliau dapat dari mahasiswanya karena proses mengajar di kelas pun sejatinya adalah proses belajar juga bagi sang dosen. Beliau juga cerita bahwa beliau belajar mengenai pembuatan powerpoint yang lebih menarik dari mahasiswa S1. Beliau juga tidak segan mendengar pendapat berbeda yang dilontarkan dari para staff nya di bidang SDM. Jadi lah rendah hati, belajar dari mana saja dan dari siapa saja.
Hal ini beliau pelajari ketika beliau belajar di Inggris. Ketika beliau masih menjadi seorang mahasiswa, beliau mencoba berdiskusi dengan dosennya dan reaksi dosen tersebut sungguh berbeda dari apa yang biasanya dia rasakan. Dosennya benar-benar mendengarkan apa yang beliau jelaskan, meskipun tentu kala itu tingkat pengetahuannya masih sangat jauh di bawah dosennya tersebut, dosen beliau juga memberikan saran yang membangun dan benar-benar membimbing dengan memberikan saran improvement seperti apa yang perlu Ibu Riani lakukan kala itu terhadap wawasannya untuk memperluas sudut pandang serta ilmunya. Ibu Riani bilang kala itu adalah momen-momen paling menyenangkan sepanjang hdiup beliau dalam proses pembelajaran.
Rendah hati juga bisa ditunjukkan dalam bentuk apa yang kita lakukan. Ada seorang dosen Ibu Riani yang setiap ke kampus hanya naik sepeda, memakai rompi plastik biasa, dan berpakaian biasa. Namun, kalau dicari di google namnya, hasil tulisannya sangat banyak dan membantu memberikan ilmu bagi banyak orang. Orangnya pun nggak pernah mau dipanggil dengan gelarnya, maunya dipanggil nama langsung. Bagi dosen beliau itu, gelar bukan sesuatu yang harus dibanggakan, namun sebuah amanah yang harus ditanggung dan dikerjakan dengan penuh tanggung jawab.
Gue jadi semangat pengen ngerasain rasanya kuliah di negeri orang. Ngerasain betapa menyenangkannya proses belajar, ngerasain juga tantangan untuk menjadi seorang muslimah yang lebih paham tentang agamanya. Gue pikir betapa beruntungnya si ibu untuk bisa berada dalam lingkungan yang mendukung untuk dirinya melakukan self-upgrading, lingkungan yang membantunya bisa menempa dirinya. Lalu, si Ibu bilang bahwa seharusnya kita lah yang menyiapkan dan menciptakan sarana belajar kita itu, jangan cuma menunggu sampai takdir yang menuntut kita berada dalam kondisi tersebut. Ibu Riana mencontohkan dirinya yang mau membangun sifat percaya diri dan nggak gampang baper, jadi beliau mengikuti sebuah grup di WhatsApp yang mana ketika anggotanya sedang bertukar pendapat mereka bisa benar-benar menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap jawaban temannya, namun ketika membahas hal lain yang mereka setujui ya mereka baikan lagi bahkan ketika ketemu secara langsung pun tidak ada sama sekali yang menyimpan kesal atau pun sakit hati.
Berikut adalah beberapa kalimat tambahan dari Ibu Riani:
- Dengan pesatnya perkembangan teknologi, siapa yang tau dalam 10 tahun ke depan pekerjaan apa saja yang sudah diambil peran oleh artificial intelligent (robot). Maka, belajar lah juga how to be a human being. Satu hal yang tidak bisa dimiliki robot, namun ada pada diri seorang manusia adalah iman dan keyakinan.
- Rejeki itu bukan tentang banyaknya, tapi berkahnya. Maka kita harus pinter dalam mengatur keuangan apalagi dalam kondisi kita masih menuntut ilmu yang mana membutuhkan biaya yang nggak sedikit.
- Belajar merupakan proses yang harus dilakukan seumur hidup, sepanjang hayat. Jangan mudah puas, karena sejatinya ilmu itu tidak ada habisnya.
- Spesialisasi yang kita miliki tidak hanya bisa disalurkan lewat bekerja, bisa disalurkan melalui mana aja sesuai dengan kondisi kehidupan yang sedang kita jalani. Don't be rigid to ourself, supaya bisa fleksibel mengaplikasikan spesialisasi kita dalam segala kondisi kita dalam kehidupan.
- Gelar di belakang nama kita itu tidak menjadikan kita lebih mulia di sisi Allah SWT, bisa jadi orang dengan gelar lebih sedikit memiliki posisi lebih mulia. Jadi, ketika kita memiliki gelar lebih tinggi dari suami kita dan/atau keluarga suami kita, jangan menjadi sombong dan hilang hormat pada mereka karena kita nggak pernah tahu siapa yang lebih mulia di mata Allah SWT.
- Ketika sudah menikah, aplaagi memiliki anak, waktu yang dimiliki untuk menuntut ilmu itu tidak sebebas dan sebanyak ketika kita masih sendiri. Maka manfaatkan lah waktu yang masih ada sekarangg untuk bisa belajar sebanyak mungkin
Satu kalimat yang gue suka yang diucapkan oleh Ibu Riani kemarin adalah
"Cerdas yang tidak disertai akhlaq adalah sia-sia"
Yaudah, sekian dari curhatan gue tentang kajian kemuslimahan kemarin. Maaf jika masih ada kurang dan kesalahan di beberapa kalimat. Semoga bermanfaat ♥♥♥
Comments
Post a Comment